Aceh, Vladivostok, dan Jalan Baru Eurasia

oleh -302 Dilihat

Oleh Muhammad Amin SH

PEKAN pertama September 2025 mencatatkan babak baru dalam sejarah geopolitik dunia. Dari Tianjin, Beijing, hingga Vladivostok, dunia menyaksikan kebangkitan Abad Eurasia — ketika Asia bukan lagi sekadar panggung, melainkan menjadi pusat arah masa depan global. Dalam forum Eastern Economic Forum (EEF) di Vladivostok, diskusi besar soal energi, jalur logistik Arktik, hingga strategi konektivitas lintas benua menandai lahirnya “tatanan logistik baru” dengan Rusia dan Tiongkok sebagai lokomotifnya.

Di tengah gegap gempita tersebut, hadir satu delegasi yang mungkin tak banyak diperhitungkan khalayak internasional, tetapi memiliki makna simbolis dan strategis: Aceh. Dipimpin langsung oleh Wali Nanggroe, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, Aceh membawa pesan sederhana namun kuat: Aceh ingin menjadi bagian dari konektivitas besar Eurasia.

Dalam wawancara dengan media populer Rusia, Argumenty i Fakty, Wali Nanggroe menyampaikan terima kasih kepada Presiden Vladimir Putin atas kesempatan yang diberikan. Ia menegaskan posisi Aceh yang strategis di persimpangan jalur laut internasional, kaya sumber daya alam, serta memiliki potensi besar di bidang energi, perikanan, pertanian, dan pariwisata. Produk unggulan seperti Kopi Gayo dan minyak nilam telah lama menembus pasar global, tetapi masih memerlukan jaringan pemasaran dan teknologi yang lebih modern.

Saat forum Vladivostok membicarakan rute gas dari Yamal ke Tiongkok, Aceh menawarkan gagasan: menghubungkan Sakhalin dengan dunia melalui jalur Aceh. Ini bukan mimpi kosong. Letak Aceh di ujung barat Indonesia menjadikannya gerbang maritim yang menghadap langsung ke Samudra Hindia, dekat dengan jalur pelayaran internasional paling sibuk di Selat Malaka.

Apa makna kehadiran Aceh di Vladivostok? Pertama, hal ini menunjukkan bahwa diplomasi ekonomi bukan monopoli negara besar. Daerah pun bisa bergerak, mencari mitra, dan menawarkan peran dalam percaturan global. Kedua, Aceh sedang menguji jalan baru: menjadikan kedekatan historis dengan dunia Islam dan posisi geografis di jalur maritim sebagai modal untuk meraih investasi energi, teknologi, dan pembangunan infrastruktur.

Kita melihat bagaimana Rusia dengan percaya diri menampilkan armada pemecah es nuklirnya di Arktik, sementara Tiongkok mengokohkan Pax Sinica dengan semboyan “berdagang, bukan berperang.” Di tengah itu, Aceh datang dengan tawaran kemitraan: teknologi Rusia untuk industri energi, pasar Rusia untuk komoditas Aceh, dan konektivitas Aceh sebagai simpul logistik Eurasia.

Dalam pandangan publik, langkah ini semestinya dipandang positif. Aceh sedang berupaya keluar dari ketergantungan lama dengan membuka diri kepada mitra baru. Jika Vladivostok dapat menjadi “Hong Kong baru” bagi Eurasia, maka Aceh berpotensi tumbuh sebagai simpul dagang dan energi di Samudra Hindia.

Opini publik harus mendorong pemerintah pusat agar mendukung langkah semacam ini. Diplomasi daerah yang berani bukanlah ancaman, melainkan peluang bagi Indonesia untuk menempatkan diri lebih aktif dalam dinamika global.

Di Vladivostok, dunia sedang menyusun ulang peta masa depan. Dan Aceh, dengan segala keterbatasan sekaligus potensinya, telah mulai menjejakkan kaki di jalur itu.[]

Penulis adalah Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)

No More Posts Available.

No more pages to load.